Kamis, 30 September 2010

MEREKA YANG BERSATU DIPENGUNGSIAN



Kota Tarakan, Kalimantan Timur, hingga semalam masih tegang akibat pertikaian antarkelompok sejak Senin (27/9/2010). Ribuan penduduk kota— diperkirakan sekitar 30.000 orang—ketakutan menyingkir dan mencari perlindungan di pengungsian.
Dalam ketakutan dan penderitaan bersama di pengungsian itulah semua perbedaan dan kebencian disingkirkan.
Pertikaian di Tarakan melibatkan kelompok keturunan penduduk Kalimantan dengan keturunan pendatang dari Sulawesi. Konflik telah menewaskan lima orang dan melukai enam orang dari kedua kelompok. Sejumlah bangunan hangus dibakar. Suasana kota menjadi seram dan aktivitas kota nyaris lumpuh total.
Namun, bagi hampir 30.000 jiwa pengungsi, konflik cuma membuat mereka menderita. Yang keturunan orang Kalimantan atau orang Sulawesi sama-sama susah. Susah dapat makan dan air, berbagi tempat istirahat, sama-sama takut dan cemas, tetapi juga bersama-sama menggemakan harapan bahwa pertikaian harus segera diakhiri.
”Kami semua jadi rugi,” kata Mustaqim, keturunan orang Kalimantan, dalam tenda di halaman belakang Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Tarakan. Pernyataannya didukung orang-orang di dekatnya, misalnya Fadli keturunan orang Sulawesi dan Yanti keturunan orang Timor.
Mereka berbaur bersama sekitar 2.000 pengungsi yang Rabu siang itu kelaparan, kehausan, dan gerah karena belum mandi. Namun, di pengungsian itu, keindonesiaan sedang diuji dan ternyata lulus.
Di pengungsian, mereka berbagi makanan dan kasih sayang. Anak-anak kecil dibelai dan dihibur agar tidak menangis. Mereka saling merawat agar tidak ada yang sakit dan rasa penderitaan berkurang.
Padahal, sekitar 500 meter dari pengungsian itu ada sekelompok massa yang kesal. Mereka memegang parang dan tombak. Di lengan terlilit pita kuning. Siap tempur. Mereka terpisah 500 meter dari kelompok lainnya yang juga kesal dan mempersenjatai diri. Kelompok yang ini memakai pita putih. Jika tidak diisolasi oleh TNI dan polisi, kedua kelompok itu pasti bentrok lagi seperti pada Selasa pukul 20.30 Wita.
Bentrokan itu terjadi di kawasan simpang empat Grand Tarakan Mall. Pugut dan Mursidul Amin tewas serta empat orang terluka. Satu rumah di belakang mal itu dibakar massa yang marah. Lokasi bentrokan cuma 100 meter dari Kantor Kepolisian Resor Kota Tarakan dan 1.000 meter dari Lanal Tarakan yang keduanya jadi tempat pengungsian.
Kabar tentang bentrokan itu kemudian menyebar dan membuat warga ketakutan lalu mengungsi. Ada yang mengungsi ke markas TNI setempat, kepolisian, dan sekolah. Mereka pergi meninggalkan rumah membawa barang seadanya, yaitu pakaian pada tubuh, bantal, tikar, serta sedikit makanan dan air. Ada yang datang dengan perahu dan memarkirkan kendaraan laut mereka itu di pangkalan.
Di Lanal Tarakan, kebanyakan pengungsi sempat meninggalkan tempat pengungsian karena menyangka kondisi sudah aman hari Rabu sekitar pukul 04.00 Wita. Namun, Rabu pukul 07.00 Wita, mereka kembali ke tempat pengungsian Lanal Tarakan sebab ada kabar temuan baru mayat korban bentrokan. ”Saya di sini saja, lebih aman meskipun kelaparan,” kata Fadli.
Pengungsi menunggu kesigapan aparat menyediakan makanan, minuman, obat-obatan, tenda, dan selimut. ”Kami tidak bisa beli makanan karena semua toko dan warung tutup,” kata Yanti.
Kota mati
Semua toko, rumah makan, dan tempat belanja sejak konflik meletus tutup total. Angkutan umum tidak beroperasi kecuali penerbangan. Perahu cepat hanya melayani tujuan keluar Tarakan.
Penumpang pesawat ketika mendarat di Bandar Udara Internasional Juwata, Kota Tarakan, Kaltim, diminta tidak pergi sendiri, apalagi melewati konsentrasi massa.
Di Kota Tarakan, jalan amat lengang. Kota nyaris senyap.
Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Prof Sarosa Hamongpranoto, menilai, bentrokan antarkelompok warga Tarakan terjadi bukan cuma akibat satu masalah. Yang dimaksud adalah tewasnya Abdullah (56), penduduk keturunan Kalimantan, oleh warga dari Sulawesi. ”Saya rasa ada kecemburuan sosial dan konflik budaya,” kata Sarosa. Maksudnya, ada kelompok yang lebih berhasil daripada kelompok lain. Perbedaan budaya terkadang dalam hal yang sepele—misalnya ucapan—bisa memicu pertikaian lebih besar. Selain itu, kondisi Tarakan sebagai pulau yang kecil (65.700 hektar) juga mengakibatkan setiap kejadian cepat diketahui banyak orang.
Sarosa menyarankan aparat dan pemerintah bahu-membahu mengatasi konflik di Tarakan dengan menciptakan kebersamaan. Tindakan tegas terhadap warga yang memancing keributan jelas perlu, tetapi untuk menghadapi massa yang kesal perlu pendekatan yang bersahabat.
Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak di Bandara Juwata menyatakan, aparat dan pemerintah tetap akan bekerja keras memulihkan situasi. ”Saya mengajak semua pihak untuk menciptakan perdamaian,” katanya.
Editor: A. Wisnubrata
SUMBER KUTIPAN : REGIONAL.KOMPAS.COM


Share |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda ...