Senin, 21 Oktober 2013

ANAK DAN REMAJA RAWAN TINDAK ASUSILA DAN PROSTITUSI



#POLPPTARAKAN_INFO : Undang-undang Perlindungan Anak No. 23/2002 dengan tegas menyatakan bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Tapi dalam faktanya, kekerasan terhadap anak  baik kekerasan fisik maupun mental tetap terjadi, tak terkecuali di Kota Tarakan.

Perlindungan terhadap anak, khususnya di Kota Tarakan tak lagi menyasar pada korban kekerasan fisik semata, tapi juga kekerasan seksual dan pengomersialan seks di kalangan generasi muda bawah umur. Adapun bawah umur yang dimaksud disini adalah mereka yang belum genap berusia 18 tahun.

Untuk penegakan aturan itu, Pemerintah Kota Tarakan mengandalkan aparat keamanan yang ada, baik yang bersifat vertikal seperti jajaran kepolisian, juga internal seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). perihal ini, Satpol PP bertindak tak hanya mengandalkan undang-undang perlindungan anak, tapi juga menggunakan Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 21 Tahun 2000 tentang Larangan  Perbuatan Asusila.

Radar Tarakan memperoleh informasi bahwa hingga pertengahan tahun ini, sedikitnya lima kasus asusila atau pencabulan telah diungkap Satpol PP, dan semuanya telah dilimpahkan ke pihak kepolisian untuk penindakan lebih lanjut. “Ada yang pelakunya itu guru ngaji, penjaga masjid, ada juga yang hamil, bahkan ada yang sampai dibawah lari ke luar daerah,” sebut Kepala Satpol PP Kota Tarakan, Dison SH.

Selain itu, Satpol PP juga banyak menindak adalah kasus asusila ringan yang menjurus kepada perbuatan seks bebas. Pelakunya kebanyakan kalangan pelajar, dengan dominan waktu kejadian pada malam hari di tempat-tempat sepi dan gelap serta rumah kos-kosan. Kondisi ini tentu saja, bukanlah hal yang patut disyukuri, kata Dison. Sebaliknya, harus dipikirkan untuk dikurangi oleh semua pihak terkait.

“Dalam undang-undang perlindungan anak sudah jelas dikatakan bahwa orangtua, keluarga dan masyarakat bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi anak, sesuai kewajiban yang dibebankan oleh hukum,” urainya seraya mengatakan bahwa selain sanksi pidana, pelaku tindakan asusila akan lebih berat kala menerima sanksi sosial. “Dalam peraturan daerah No. 21/2000 juga ditegaskan bahwa sanksi terhadap pelaku tindak asusila adalah kurungan tiga bulan atau denda maksimal Rp 5 juta. Tapi kalau tindak asusila dilakukan oleh anak-anak yang masih sekolah atau dibawah umur, kita hanya memberikan sanksi pembinaan,” tambahnya.

Pembinaan terhadap dilakukan lewat penegasan komitmen terhadap remaja pelaku tindak asusila untuk tidak mengulangi perbuatannya tersebut. Komitmen tersebut dituangkan dalam bukti ‘hitam diatas putih’ berbentuk surat pernyataan yang ditandatangani pelaku serta pihak penyidik Satpol PP. Setelahnya,  pelaku dikembalikan kepada orangtua masing-masing.

“Untuk kasus perbuatan cabul murni yang dilakukan orang dewasa terhadap anak dibawah umur, kami akan langsung mengkoodinasikannya kepada pihak kepolisian,” jelas Dison sebelum menyatakan bahwa rata-rata usia korban tindak pencabulan yang kasusnya dilimpahkan ke kepolisian mulai dari usia bocah diatas lima tahun hingga usia 17 tahun.

Sementara itu, Asisten III Kota Tarakan yang membidangi kesehjateraan rakyat, Mariyam mengaku saat ini telah terjadi pergeseran perilaku tindak asusila di kalangan remaja Tarakan. Berawal dari hubungan percintaan remaja, kini perbuatan asusila sudah memasuki ranah praktik prostitusi komersial yang teratur rapi dan berjaringan.

Alhasil, saat kasus seperti ini terungkap, maka layaknya gunung es, penikmat layanan seks komersial remaja bawah umur akan terkuak juga. Seperti yang baru-baru ini dialami dua pelajar pelaku praktik prostitusi, sebut saja Bunga dan Melati. Dalam laporannya kepada pihak kepolisian, Bunga dan Melati mengaku telah dirugikan oleh penikmat jasanya, yang malangnya adalah aparatur negara berprofesi sebagai guru dan pejabat tinggi Pemerintah Kota Tarakan. “Kita berharap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait, baik itu badan pemberdayaan (BPMP2KB) dan dinas pendidikan bisa melakukan pembinaan khusus yang lebih intensif terhadap anak yang terindikasi melakukan praktik prostitusi,” ujar Maryam, belum lama ini.

Selain praktik prostitusi, kerawanan dilanggarnya hak anak di Tarakan adalah kekerasan terhadap anak dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Salah seorang bocah korban kekerasan yang berhasil diwawancarai media ini adalah Noval, 8 tahun. Akibat kekerasan dari pihak keluarganya, Noval memutuskan lari dari rumah sekira tiga bulan lalu.

Kini Noval diinapkan pihak BPMP2KB di salah satu panti asuhan di Tarakan. Kepada Radar Tarakan, Noval dengan polos mengakui bahwa ia tidak tahan tinggal di rumahnya karena kerap dimarahi dan dipukul oleh bapaknya yang mengalami lumpuh pada salah satu kakinya. Ibunya sendiri sudah lama meninggalkan mereka berdua, dengan alasan yang tak diketahui Noval. “Kalau disuruh beli, ada anak-anak nakal yang minta uang saya. Jadi kalau pulang, saya pasti dipukul sama bapak,” beber bocah yang mengaku sebelumnya tinggal di salah satu RT di Kelurahan Lingkas Ujung itu.(yan/ndy)

Sumber Kutipan :
Terbit Senin, 21 Oktober 2013

LAYANAN PENGADUAN SETIAP HARI 1 X 24 JAM 
SATPOL PP KOTA TARAKAN : 
TELEPON (0551) 32492 
KIRIM SMS KE 081262118367 





BLOG INI DAPAT DIAKSES MELALUI
HANDPHONE (MOBILE VERSION)
KLIK DISINI : MOBILE VERSION

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda ...